SOLOPOS.COM - Film "Samsara" garapan Sutradara Garin Nugroho ditayangkan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/5/2024). (Antara/Hreeloita Dharma Shanti)

Solopos.com, JAKARTA – Setelah sukses dengan film “Setan Jawa” (2017), tahun ini sutradara Garin Nugroho menghadirkan film bisu hitam-putih “Samsara”. Sebuah film yang menggabungkan unsur film, unsur teater, dan unsur seni tradisi.

Meski film yang diperankan oleh Ario Bayu dan Juliet Widyasari Burnett ini dikatakannya sebagai film horor, namun penikmat film tidak perlu khawatir karena filmnya sendiri lebih terasa seperti ‘menyelami’ kekayaan budaya Bali sambil menelusuri indahnya alam pada masa itu melalui gaya sinematiknya yang tak biasa.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Pasalnya, baik Garin maupun para pemain semua kompak banyak mencari referensi dari kehidupan Bali di tahun 1930-an. Mulai dari foto masyarakat yang hidup pada waktu itu, kegiatannya, buku-buku sampai kunjungan komedian Charlie Chaplin ke sana yang secara realistis dapat membangkitkan imajinasi mereka untuk menyorot keindahan Bali.

Berkat semua referensi itu, penonton dapat melihat rimbunnya hutan sambil menikmati indahnya aliran sungai yang jernih dan dikelilingi dedaunan. Dengan mendetail, ditambahkan pula sejumlah pohon kelapa yang berdiri dengan kokoh di beberapa adegan.

Beranjak ke pedesaan tempat Darta (Ario Bayu) tinggal, walaupun digambarkan sebagai warga miskin kala itu, suasana pedesaan cukup hangat dan penuh dengan kegembiraan.

Rakyatnya suka menari baik dengan gaya tubuh yang gemulai nan cantik ataupun yang mengenakan topeng karakter. Dari segi pakaian pun, pemain yang memerankan warga lokal mengenakan pakaian tradisional.

Sementara untuk pemain yang berasal dari Eropa yang diketahui pada masa itu banyak menikah dengan bangsawan Bali, pakaian yang ditampilkan jauh lebih modern dengan mengenakan gaun atau pakaian lengan panjang khas kolonial bagi prianya.

Kerukunan warganya pun tersorot jelas dari cara mereka bercengkrama, saat mengerjakan sesuatu seperti mengukir atau menganyam sesuatu. Bahkan dalam sebuah adegan di pekarangan rumah Darta usai menikahi Sinta (Juliet Widyasari Burnett), seorang anak dengan tingkah lucunya menari mengenakan topeng.

Keharmonisan keluarga tercermin jelas dari sikap kedua orang tuanya yang kemudian ikut menari diikuti tawa Darta dan Sinta.

Tak lupa, Garin juga memasukkan ‘sentuhan film lama’ dalam “Samsara”. Ia menghadirkan tiga tokoh komika dengan ukuran tubuh yang berbeda, untuk memberikan sedikit sensasi humor di tengah kekalutan hubungan para tokoh utama. Ketiga tokoh inilah yang bakal membuat kehidupan di desa makin seru untuk diikuti.

Selain keindahannya, tentu kita tahu bahwa Bali memiliki budaya mistis yang cukup kental. Untuk memperlihatkan hal tersebut, tim produksi banyak memasukkan latar tempat sakral berupa candi-candi, tempat menaruh dupa dan bunga hingga tanah luas kering yang dipenuhi tumpukan bebatuan.

 

Sebab-akibat perbuatan manusia

Hal-hal gaib dan mistis itu pun juga ditempelkan pada semua tokoh yang bermain di dalamnya. Lewat tokoh Darta misalnya.

Dikisahkan sebagai pria miskin yang cintanya ditolak oleh orang tua perempuan yang kaya raya, ia terpaksa melakukan sebuah ritual yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Setiap perbuatan pasti ada sebab dan akibat yang akan diterima, dari sosok Darta, Garin mengajak penonton mengenal ritual untuk mendapatkan kekayaan yang nantinya akan melibatkan Raja Monyet (Gus Bang Sada). Ritual ini menurutnya cukup dipercayai masyarakat lokal kala itu.

Demi mendapatkan sang pujaan hati, Darta mengikuti seluruh tata cara melakukan ritual. Mulai dari menemui seorang perempuan tua di dekat jembatan yang ditemani dua sosok berwujud setengah monyet dan manusia dengan topi yang menjulang tinggi, mencari topeng berwajah monyet di tanah tandus sampai mengunjungi lokasi tempat Raja Monyet dan pengikutnya tinggal.

Dari sisi Sinta sendiri, sebagai seorang perempuan yang melahirkan anak laki-laki, aura mistis dilekatkan lewat beberapa adegan di mana ia memegang sebuah perhiasan berbentuk bunga yang selalu ia letakkan di depan matanya sambil berdiri di sebuah pohon rindang nan besar.

Sinta juga tertangkap kamera berkali-kali menari dengan bertelanjang kaki sambil menengadahkan kepala ke arah langit, seperti meminta belas kasih Sang Pencipta.

Seusai mengetahui sang suami bermain ilmu hitam dan bersikap aneh tiap kali memasuki sebuah ruangan dengan jendela kecil di rumah, Sinta segera mencari tahu tahapan ritual tersebut dan melakukan hal serupa.

Bedanya, Sinta harus segera membayar apa yang Darta minta dengan sesuatu yang amat berharga bagi dirinya. Pertemuan Sinta dengan Raja Monyet inilah yang menjadi adegan paling seru untuk ditonton.

Kita akan diperlihatkan sebuah adegan di mana seorang manusia terpaksa harus memilih antara memperjuangkan hidupnya dan bertanggungjawab atas segala konsekuensi dari perbuatannya sendiri.

Kisah makin klimaks saat Raja Monyet mengetahui pengkhianatan Darta yang lebih memilih istrinya. Sambil membawa pasukan, Raja Monyet turun dari singgasana langsung menuju desa dan membuat keonaran.

Huru-hara pun terjadi dan situasi makin tidak terkendali. Di sini, dampak dari ritual tersebut akan mendatangi Darta secara langsung. Walaupun seluruh pemain hanya mengandalkan mimik muka, dapat dipastikan Anda mengerti pesan dan cerita yang ingin Garin sampaikan.

 



Kolaborasi musik yang ciamik

Terkait dengan audio, Garin mengaku paling senang bereksperimen dan menggabungkan hal-hal yang tidak biasa. Seperti halnya musik yang digunakan di film ini, ia menggabungkan seni musik gamelan dengan elektronik yang kekinian.

Perpaduan suara gamelan yang dimainkan oleh Tim Gamelan Yuganada memberikan sentuhan magis dan sakral. Tempo dan alunannya makin lengkap dengan sentuhan elektrik dari Gabber Modus Operandi.

Kata Garin, tiap jenis musik dapat melengkapi kekurangan masing-masing sehingga begitu disatukan akan melahirkan warna baru dalam sebuah karya.

Sementara soal vokal yang mengiringi film, dapat dipastikan suara Ican Harem, Gusti Putu Sudarta, Dinar Rizkianti, dan Thaly Titi Kasih makin membuat kisah “Samsara” makin hidup dan kental dengan nuansa tempo dulunya.

Sebelumnya pada 10 Mei, “Samsara” telah tayang secara perdana di Esplanade Concert Hall, Singapura. Diketahui lebih dari 1.000 penonton dan undangan hadir dan memberikan standing ovation pada pertunjukan cine-concert yang memadukan penayangan film dengan penampilan musik secara langsung itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya